Kepada yang Kau Sebut Rumah

Kepada yang kini kau sebut rumah, apa ia adalah sebenarnya rumah? 

Entah berapa kali pertanyaan itu muncul setiap aku tidak sengaja memandang lelaki didepanku ini. Postur tubuhnya yang tegap dan didukung dengan raut wajahnya yang begitu menyatakan ketegasan hanya dengan menatap wajahnya. 

"Yang, udah?" ucapnya yang membuat lamunanku menguap.

"Sudah" jawabku singkat.

Hubungan berlandaskan 'komitmen' ini sudah kujalani dengannya selama hampir lima tahun. Awalnya hal itu tidak menjadi masalah yang cukup besar untuku sampai menginjak tahun kelima ini.. rasanya banyak sekali kegelisahan yang tumbuh dari ucapan orang-orang sekitar mengenai hubungan kita. Sudah begitu sering kuceritakan kekhawatiranku padanya namun.. responnya selalu datar dan lebih memilih untuk acuh dan tidak pernah berusaha untuk meyakinkanku.

"Yang, ngelamun terus, kenapa?" lagi-lagi ia membuyarkan lamunanku

Entah dorongan darimana sontak aku bertanya. "Mas, aku itu rumah buat kamu ga?"

Ia menghela nafasnya kasar, seperti menunjukan bahwa dirinya lelah karena selalu berhadapan dengan pertanyaan serupa yang selalu keluar dari mulutku setiap kami selesai merayakan hari 'komitmen' kami berdua.  "Yang, kan aku udah pernah bilang aku punya tanggungan buat jagain ad--"

"Adis lagi yang jadi masalah ya mas? 

Aku selalu benci ketika ia malah memberikan alasan bahwa dirinya harus menjaga Adis- sahabat kecilnya. Orang tua adis menitipkan anaknya kepada kekasih, ah maksudnya orang yang kucintai disampingku ini. Aku selalu sangat marah ketika ia selalu memberikan alasan itu dan bukan meyakinkanku ataupun memperjelas hubungan kami.

"Aku udah sering jelasin ini yang" 

"Kalau gitu, aku boleh ga sekali sekali main ke Bandung ketemu ibu ayah kamu mas?"

"Na, aku juga udah sering bahas ini aku bel--"

"Belum berani? tapi kenapa? ini sudah tahun kelima mas aku bertahan. Bukannya aku ga mau bareng sama kamu terus, tapi kalau kamu selalu begini setiap aku bertanya pertanyaan yang sama apa aku ga curiga? 

"Na, aku anter pulang aja ya? kamu capek dan ga mungkin kita bahas ini sekarang"

Memang akan seperti ini akhirnya jika aku mempertanyakan hal itu. entah mengapa. 

"Mas"

Sebelum ia menyahut aku sudah lebih dulu memotongnya "Kalau memang aku bukan rumah yang kamu ingin tempati, jangan berdiri di depan pintunya mas. aku sudah tahu"

"Kamu tahu apa sih na?"

"Aku tahu segala hal yang kamu sembunyikan mas, juga semua alasan kenapa sampai saat ini kita selalu jalan di tempat".

"Tapi aku saya--"

Tangisku kuhentikan dan seketika tertawa getir, "Hahaha, mas kamu lagi main sandiwara sama siapa sih? hebat banget perasaan".

Setelah menyelesaikan kalimat tersebut, aku lantas bergegas pergi meninggalkan sosok laki-laki yang masih merasa terkejut dengan ucapanku.

Kepada yang seringkali kusebut rumah, yang selalu kusebut sebagai tempat berpulang ternyaman kini bukan lagi menjadi seperti yang terdefinisikan dahulu. 

Kini, rumah tersebut serupa penjara dan aku telah keluar dari penjara tersebut. 


Komentar

Postingan Populer